Sungguh hidup di dunia hanyalah
sesaat dan semakin bertambahnya waktu kematian pun semakin dekat.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Aku
tidaklah mencintai dunia dan tidak pula mengharap-harap darinya. Adapun
aku tinggal di dunia tidak lain seperti pengendara yang berteduh di
bawah pohon dan beristirahat, lalu meninggalkannya (HR.Tirmidzi)
Setiap memasuki tahun baru Islam 1
Muharam, sebagian besar umat islam khususnya di Indonesia merayakannya
dengan berbagai bentuk kegiatan. Ada yang melakukan qiyamullail,
pengajian bersama, berdzikir, dan lain sebagainya. Banyaknya
ragam aktivitas ini, tentunya mengusik pikiran kita, apa sih sebenarnya
makna dari tahun baru Islam ini? Apa esensi dari hijrah nabi dari Mekah
dan Medinah yang menjadi titik tolak perhitungan kalender Islam ini?
Berdasarkan rangkaian sejarah yang menyertai peristiwa hijrah ini
serta nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan hadits, proses
hijrah yang sesungguhnya adalah Proses perubahan ke arah yang lebih baik.
Apapun acara yang kita lakukan, yang penting esensinya menuju ke arah
yang lebih baik. Momentum hijrah haruslah menjadi titik tolak menuju
kehidupan yang lebih baik, baik dalam ruang lingkup pribadi, keluarga,
bermasyarakat maupun bernegara.
Lalu bagaimana caranya agar kita bisa
memaknai Hijrah sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya? Ada
beberapa kiat yang perlu kita lakukan yaitu sebagai berikut:
1. Bersunguh-sungguh berhijrah secara spiritual atau karakter
Nabi bersabda, “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang dilarang Alloh SWT”.
Objek larangan dalam hadits ini menggunakan kata MA. Dalam bahasa arab
kata MA merujuk pada sesuatu yang bersifat menyeluruh. Maknanya bisa
larangan ekonomi yang berbasis riba, seni yang merusak moral, pendidikan
yang sekuler, dan lain sebagainya. Secara lebih jauh, larangan di sini
bermakna haram, makruh ataupun subhat. Jadi dalam kerangka Hijrah,
seyogyanya kita melakukan perubahan hidup (shifting) dengan cara meninggalkan segala larangan-larangan-Nya.
2. Berhijrah secara Fisik
Hijrah ini berkaitan dengan amal secara berjamaah,
mengingat manusia sangat tergantung pada lingkungannya. Hijrah dilakukan
agar mendapatkan lingkungan yang lebih baik dalam menjalankan dakwah.
Nabi melakukan hijrah dari Mekah dan Medinah agar memperolah lingkungan
dakwah yang lebih kondusif .
Saat kita berdakwah di suatu tempat dan tidak menemukan perubahan
berarti bahkan nyawa atau aqidah kita terancam, maka kita diharuskan
mencari lahan baru dengan melakukan hijrah ke tempat lain. karena dalam
realitasnya, tidak semua bumi itu subur, ada juga yang tandus. Mekkah
saja perlu 13 tahun untuk dapat menerima Islam secara menyeluruh.
3. Memakmurkan Mesjid
Yang pertama kali dibangun oleh Nabi saw saat beliau hijrah dari Mekah
ke Medinah ialah mesjid. Hal ini mencerminkan bahwa solidaritas
umat Islam hendaklah dimulai dari mesjid. Ukuran baik suatu perumahan,
pesantren, organisasi, maupun institusi terletak bagaimana ia
memakmurkan mesjidnya.
Nabi bersabda, “Apabila kamu membiasakan ke mesjid, saksikan iman orang itu benar”. Berdasarkan
sabda ini, salah satu indikasi benarnya iman seseorang ialah gemar
memakmurkan mesjid. Tujuannya bisa untuk melaksanakan shalat berjamaah,
pengajian, dzikir, dan lain sebagainya. Sebaliknya, jika seseorang tidak
suka ke Mesjid, maka imannya patut dipertanyakan.
4. Menghimpun Potensi Umat Islam Menjadi Bersatu Padu
Secara jujur kita bisa mengatakan bahwa potensi umat islam saat ini
masih berserakan. Berjalan sendiri-sendiri mengatasnamakan jemaah,
partai, madhab, bahkan negara. Tidak sedikit sesama umat islam saling
bermusuhan bahkan melakukan peperangan. Dengan momentum Hijrah, sudah
seyogyanya umat Islam bersatu padu menjaga persatuan atas dasar keimanan
yang sama dan musuh yang sama yaitu orang kafir.
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung
bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak
melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan
terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (QS. 8:73)